Pages

Jumat, 10 Agustus 2012

KAUSALITAS






KAUSALITAS
1.    Jelaskan menurut anda kapankah diperlukannya ajaran kausalitas?
JAWAB: apabila terjadi tindak pidana materil, yaitu tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang menimbulkan akibat tertentu disebut akibat terlarang. Titik beratnya larangan pada menimbulkan akibat terlarang (unsur akibat konstitutif). Walaupun dalam urusan tindak pidana disebut juga unsur tingkah laku (misalnya menghilangkan nyawa pada pembunuhan pasal 338, atau melakukan penipuan pasal 387), namun untuk penyelesaian tindak pidana tidak bergantung pada selesainya mewujudkan tinkah laku, akan tetapi apakah dari wujud tingkah laku telah menimbulkan akibat terlarang pembunuhan (338) hilangnya nyawa orang lain, atau pada penipuan telah menimbulkan akibat orang menyerahkan benda , membuat utang atau menghapuskan piutang.

Dalam hal terwujudnya tindak pidana materil secara sempurna diperlukan 3 syarat esensial, yaitu:
·           Terwujudnya tingkah laku.
·           Terwujudnya akibat (akibat konstitutif atau constietutief gevolg).
·           Ada hubungan kausal (causal verband) antara wujud tingkah laku dengan akibat konstitutif.

Contohnya, seorang bapak mengenderai sepeda motor hendak menyebrang mengambil jalur yang lain dengan berbelok ke kanan tanpa memperhatikan kendaraan dari arah belakang, dan ketika itu ada sebuah  mobil yang melaju dari arah belakang. Melihat kendara bermotor tersebut sipengendara mobil menginjak rem sekuat tenaga sehingga mengeluarkan suara gesekan ban di jalan yang keras, yang menyebabkan bapak tadi terkejut. Walaupun mobil tidak sampai menabrak/membentur keras sepeda motor, namun tiba-tiba didepan mobil yang telah berhenti dan masih duduk diatas sepeda motornya, bapak itu rubuh dan jatuh pingsan. Kemudian segera dilarikan kerumah sakit. Di rumah sakir ia tidak segera mendapatkan pertolongan, setengah jam meninggal dunia.
Penyidikan dilakukan terhadap pengendara mobil dengan sangkaan kurang hati-hati mengendarai mobil yang menyebabkan orang lain meninggal dunia (pasal 359). Hasil otopsi menyebutkan bahwa “kematiam korban, disebabkan karena serangan jantung”. Terbuti secara medis bapak tadi penyakit jantung, yang sewaktu-waktu dapat kambuh dan menjadi akibat kematiannya. Dengan berdasarkan hasil otopsi tersebut, penyidikan dihentikan.
Pada peristiwa di atas, terdapat beberapa factor yang berpengaruh sehingga pada ujungnya menimbulkan kematian. Rangkaian faktoe itulah:
·         Korban berbelok kanan-menyebrang dengan tiba-tiba
·         Pengemudi dengan sekuat tenaga menginjak rem
·         Adanya bunyi keras dari gesekan ban dengan aspal yang menyebabkan,
·         Korban terkejut dan menyebabkan,
·           Kambuhnya penyakit jantung korban
·         Tidak segera mendapatkan pertolongan medis.
Dalam peristiwa diatas ada 6 faktor yang ikut memengaruhi sehingga pada ujungnya ada akibat kematian. Dalam hubungannya dengan penetuan pertanggungan jawab pidana, tidak mudah untuk menentukan factor yang manakah yang menyebabkan kematian. Dalam menhadapi persoalan mencari dan menetapkan adanya hububungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat semacam contoh di atas, ajaran kausalitas menjadi penting.

2.    Jelaskan teori-teori yang terdapat dalam ajaran kausalitas!
JAWAB: ada beberapa ajaran kausalitas, yang dapat di keloompokkan kedalam 3 teori besar:
a)      Teori Conditio Sine Qua Non
            Teori berasal dari Von Buri, seorang ahli hkum jerman yang pernah menjabat sebagai Presiden Reichtgetricht (Mahkamah Agung Jerman). Tentang ajaran yang pertama kali dicetuskan oleh beliau dalam tahun 1873 ini, menyatakan bahwa penyebab adalah semua factor yang ada dan tidak dapat dihilangkan untuk menumbulkan suatu akibat.
            Menurut teori ini, tidak membedakan mana factor syarat dan mana factor penyebab, segala sesuatu yang masih berkaitan dalam sutu peristiwa sehingga melahirkan suatu akibat adalah termasuk menjadi penyebabnya. Oleh karena itu, menurut teori ini, keenam factor yang menjadi contoh dalam peristiwa matinya bapak tadi, di antara sekian dari serangkaian factor, tidak ada yang merupakan syarat, semuanya menjadi factor penyebabnya. Semua factor dinilai sama pengaruhnya terhadap timbulnya akibat yang dilarang. Tanpa salah satu atau dihilangkannya salah satu dari rangkaian factor tersebut tidak akan terjadi akibat menurut waktu, tempat dan keadaan senyatanya dalam peristiwa itu.
Teori ini disebut juga dengan teori ekivalensi (aquivelenz-theorie) atau bedingungtheorie. Disebut dengan teori ekivalensi, karena ajaran von Buri ini menilai semua factor adalah sama pentingnya terhadap timbulnya suatu akibat. Disebut dengan bedingungstheorie oleh karena dalam ajran ini tidak membedakan anatara factor syarat (bedingung) dan mana factor penyebab (causa).

b)      Teori-teori yang Mengindividualisir
Teori yang mengindividualisir, ialah teori yang dalam usahanya mencari factor penyebaba dari timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat pada factor yang ada atau terdapat setelah perbuatan dilakukan, dengan kata lain setelah peristiwa itu beserta akibatnya benar-benar terjadi secara konkret (post factum). Menurut teori ini setelah peristiwa terjadi. Maka diantara sekian rangkaian factor yang terkait dalam peristiwa itu, tidak semuanya merupakan factor penyebab. Factor penyebab itu adalah hanya berupa factor yang paling kuat terhadap timbulnya suatu akibat, sedangkan factor lain adalah dinilai sebagai factor syarat saja. Pendukung yang mengindividualisir ini antara lain Birkmeyer dan Karl Binding
Menurut Birkmeyer (teorinya disebut dengan de meest werkzame factor) tidak semua factor sebagai factor penyebab, melainkan hanya terhadap factor yang menurut kenyataannya setelah peristiwa itu terjadi secara konkret (post factum) adalah merupakan factor yang paling dominan atau paling kuat pengaruhnya terhadap timbulnya akibat. Menurut pendapat ini pada contoh diatas tadi, setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, maka dicari dan dinilai diantara  serangkaian factor yang berkaitan dengan kematian itu, kiranya factor “serangan penyakit” jantunglah yang paling dominan peranannya terhadap kematian itu. Apabila ajaran Birkmeyer digunakan pula pada peristiwa ini, maka perbuatan pengendara mobil menginjak rem dengan kuat yang menimbulkan suara keras dari gesekan ban dengan aspal, bukanlah sebagai factor penyebab matinya korban itu, tetapa sebagai factor syarat saja. Karenanya dari sudut hukum pidana dia tidak bertanggung jawab atas kematian itu.
Teori ini memiliki 2 kelemahan:
·         Dalam kriteria untuk menentukan factor mana yang mempunyai pengaruh yang paling kuat
·         Dalam apabila factor yang dinilai paling kuat itu lebih dari satu dan sama kuat pengaruhnya terhadap akibat yang timbul.
c)      Teori-teori Menggeneralisir
Teori yang menggeneralisir adalah teri yang dalam mencari sebab (causa) dari rangkaian factor yang berpengaruh atau berhubungan dengan timbulnya akibat adalah dengan melihat dan menilai pada factor mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada umumnya dapat menimbulkan suatu akibat. Jadi mencari factor penyebab dan menilainya tidak berdasarkan pada factor  setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, tetapai pada pengalaman pada umumnya menurut akal dan kewajaran manusia atau disebut secara abstracto, tidak secara inconcrito.
Penggunaan teori ini dapat diberikan contoh ialah, karena jengkel kepada bawahannya yang berbuat salah, bawahannya itu ditempelengnya dengan tangan kosong yang secara wajar menurut akal dan pengalaman orang pada umumnya tidak akan menimbulkan kematian, tetapi kemudian korban pingsan dan meninggal. Menurut teori ini, kematian bawahan ini bukan disebabkan oleh perbuatan menempeleng oleh atasannya, karena secara wajar dan akal serta pengalaman orang pada umumnya perbuatan memenpeleng tidaklah menimbulkan akibat kematian. Kematian itu mestilah diakibatkan oleh selain perbuatan menempeleng, mungkin karena sebab penyakit seperti jantung atau darah tinggi. Perbuatan menempeleng sekadar factor syarat belaka.
Persoalannya ialah bagaimana cara menentukan, bahwa suatu sebab itu pada umumnya secara wajar dan menurut akal dapat menimbulkan suatu akibat? Membahas mengenai persoalan ini, maka timbullah dua pendirian, yakni pendirian yang subjektif yang disebut dengan teori adequate subjektif, dan pendirian objektif yang kemudian disebut dengan teori adequate objektif.
a.      Teori Adequat Subjektif
Teori adequate subjektif dipelopori oleh J. Von Kries, yang menyatakan bahwa factor penyebab adalah  factor yang menuntut kejadian yang normal adalah adequqt (sebanding) atau layak dengan akibat yang timbul, yang factor mana diketahui atau disadari oleh si pembuat sebagai adequate untuk menimbulkan akibat tersebut. Jadi dalam teori ini factor subjektif atau sikap batin sebelum sipembuat berbuat adalah amat penting dalam menentukan adanya hubungan kausal, sikap batin mana berupa pengetahuan (sadar) bahwa perbuatan yang akan dilakukan itu adalah adequate untuk menimbulkan akibat yang timbul, dan kelayakan ini harus didasarkan pada pengalaman manusia pada umumnya.
Oleh karena ajaran von Kries dalam mencari factor penyebab itu adalah pada dibayangkannya dapat menimbulkan akibat, maka disebut juga dengan teori subjective progenose (peramalan subjektif).

b.      Teori Adequat Objektif
Berbeda dengan teori dari von Kries yang dalam hal mencari factor penyebab itu pada kesadaran sipembuat bahwa pada kejadian normal pada umumnya factor itu layak atau sebanding untuk menimbulkan suatu akibat. Pada ajaran adequate objektif ini, tidak memperhatikan bagaimana sikap batin sipembuat sebelum berbuat, akan tetapi pada factor-faktor yang ada setelah (post factum) peristiwa senyatanya beserta akibatnya terjadi, yang dapat dipikirkan secara akal (objektif) factor-faktor itu dapat menimbulkan akibat. Tentang bagaimana alam pikiran/sikap batin sipembuat sebelum ia berbuat tidakalah penting, melainkan bagaimana kenyataan setelah peristiea terjadi beserta akibatnya, apakah fakator tersebut meneurut akal dapat dipikirkan untuk menimbulkan akibat.
Untuk lebih jelasnya tentang perbedaan anatara teori adequat subjektif dengan teori adequate objektif serta penerapannya, sungguh tepat contoh yang diberikan oleh Prof. Moeljatno di bawah ini.
Seorang juru rawat telah dilarang oleh dokter untuk memberikan obat tertentu pada seorang pasien, diberikan juga olehnya. Sebelum obat itu diberikan pada pasien, ada orang lain yng bermaksud membunuh sipasian dengan memasukkan racun pada obat itu yang tidak diketahui oleh juru rawat. Karena meminum obat yamh telah dimasuki racun, maka racun itu menimbulkan akibat matinya pasien.
Menurut ajaran von Kries (adequate subjektif), karena juru rawat tidak dapat membayangkan atau tidak mengetahui perihal dimasukkannya rancun pada obat yang dapat menimbulkan kematian jika diminum, maka perbuatan meminumkan obat pada pasien bukanlah penyebab kematian pasien. Perbuatan meminumkan obat dengan kematian tidak ada hubungan kausal atau hubungan sebab-akibat.

1 komentar: